Kamis, 05 Agustus 2010

Resensi Saatirah Karya Niknik M. Kuntarto

PENGARUH SRI SUMARAH
PADA SAATIRAH DAN BENTUK PERLAWANANNYA
Oleh : Edi Sutarto


Judul Novel : Saatirah
Penulis : Niknik M. Kuntarto
Penerbit : Grasindo
Waktu Terbit : Mei 2010
Halaman : 191


Apa yang akan kita lakukan bila di usia penikahan yang kesepuluh, menemukan puisi cinta di BlackBerry pasangan kita? Puisi itu adalah puisi perselingkuhannya.
Apa yang akan kita lakukan bila mendapati pasangan kita meminta izin memiliki kekasih baru? Jawabannya pasti beragam dan ujung dari jawaban atas pertanyaan ini, umumnya adalah cerai.
Apa yang akan kita lakukan bila kita tahu pasangan kita selingkuh, lalu di luar sana ada sosok lain yang lebih muda usia dan lajang memenuhi selera kita menyatakan cinta kepada kita? Apa yang akan kita lakukan bila ternyata sosok muda usia ini memiliki hasrat bercinta yang menggebu? Kesempatan bercinta itu terbuka, baik di dalam mobil atau di kamar vila. Jawabannya pasti beragam pula dan dapat dipastikan akan lebih banyak mengatakan, “Kenapa tidak? Toh, pasangan kita juga melakukannya.”
Kenyataan tersebut dialami oleh tokoh protagonis dalam novel Saatirah. Novel ini menggunakan sudut pandang ketiga. Kisahnya tentang seorang perempuan bernama Saatirah yang dihujam pertanyaan-pertanyaan tersebut, tetapi ia memilih jawaban yang unik. Ia justru menyebrangi jawaban pada umumnya yang dipastikan diambil oleh kebanyakan orang. Sebagian besar pembaca pasti akan gregetan dan menuduh Saatirah sebagai sosok yang naïf, bahkan mungkin sangat naif. Namun, pilihan sikapnya yang tidak umum itulah yang menjadikan Saatirah bukan perempuan biasa.
Kisah langsung menyuguhkan konflik, bermula dari terkuaknya perselingkuhan Andro, suami Saatirah, karena puisi cinta di BlackBerry-nya. Cinta Andro kepada sekretarisnya sendiri yang bernama Shintia. Seketika, lara tentu meremas hati Saatirah dan meluluhlantakkan kepercayaannya, ini hal yang sangat manusiawi, tetapi Saatirah mampu mengendalikan diri, bahkan mempersipkan diri dengan kemungkinan lain yang lebih menyakitkan hatinya. Benar, selang beberapa hari kisah berlajut makin lara. Di antara deras hujan yang menyergap-nyergap, satu malam Andro minta izin pada Saatirah untuk memacari sekretarisnya itu. Alasannya karena Shintia mampu memotivasi kinerjanya di kantor, Andro berjanji hanya sekadar nonton atau makan bersama. Dengan hati yang remuk, Satirah mengizinkan. Kelak janji itu diingkari, bahkan Andro dalam banyak hal lebih membela Shintia. Tentu Saatirah melakukan perlawanan.
Perlawanan yang dilakukannya justru perlawanan kedalam, ia mencoba instropeksi diri, apa yang kurang di dirinya ia benahi. Sebuah perlawanan yang tentu jarang dilakukan oleh kebanyakan orang bila dalam kondisi yang demikian. Ia terus memperbaiki diri, baik di dalam rumah tangga sebagai istri dan seorang ibu dari kedua anaknya maupun dalam kariernya sebagai dosen di beberapa perguruan tinggi yang cukup terkemuka di Jakarta dan Tangerang. Beberapa buku ditulisnya untuk referensi perkuliahan yang ia ampu, tidak berhenti di situ, Ia bahkan mampu menjadi narasumber yang handal dalam bidangnya.
Agaknya, Niknik M. Kuntarto dalam novelnya ini sangat terpengaruh kisah Sri Sumarah, cerpen karya Umar Kayam. Beberapa kali ia menukil kisah Sri Sumarah sebagai pembanding peristiwa dalam Saatirah. Niknik, ingin mengejahwantahkan karakter Saatirah dari makna nama tokoh utamanya ini seperti yang diurai dalam bab “Puisi Lara Itu adalah Satirah”. Ibunya berujar, “Saatirah adalah nama yang indah. Nama itu diambil dari bahasa Arab yang berarti perempuan, sabar, soleh dan mulia yang berbakti pada suaminya. Saatirah berarti juga perempuan yang selalu menjaga kehormatan suami dan menutupi aib suaminya.” Rupanya dari nama Saatirah inilah kisah berkembang bagai spiral. Persis seperti cerpen Umar Kayam tersebut. Kisah berkembang dari nama Sri Sumarah. Sumarah yang artinya menyerah, terserah, atau pasrah. Sikap ini diajarkan oleh neneknya. Sikap sumarah diterjemahkan Sri sebagai kepasrahan ketika dijodohkan neneknya dengan Mas Marto, suaminya. Sang Neneknya pula yang mengajarkan bagaimana menyikapi seluruh dinamika rumah tangganya dengan kepasrahan.
Dalam Saatirah, nilai tentang kepasrahan itu diajarkan langsung oleh ibunya sendiri. Dalam hal pernikahan, meski Saatirah melalui proses berpacaran dengan Andro, tetap saja peran ibunya sangat kuat sehingga Saatirah termotivasi untuk menikah dengan Andro. Di kemudian hari, begitu dinamika rumah tangganya mengalami pasang surut, ia tetap menjalankan ajaran sang ibunya, menyimpan pahit getirnya berumah tangga di bilik hatinya sendiri, sangat rapat, bahkan kepada ibunya. Di saat-saat ia terpuruk, bayang-bayang ibunyalah yang selalu hadir dan menjadi obat penawar.
Nama tokoh Saatirah menjadi simbol yang menyatakan gambaran sikap seorang istri yang unik bila dibandingkan dengan para perempuan umumnya dalam menanggapi kehidupan rumah tangganya. Ia tidak reaktif minta cerai saat tahu suaminya selingkuh, namun ia melakukan usaha-usaha agar suaminya sadar atas kekeliruannya. Ia juga mempertimbangkan nasib baik anak-anaknya sebagai lebih prioritas dibanding egonya.
Peristiwa yang dialaminya, baik manis maupun pahit dihadapi dengan penerimaan hati yang ikhlas. Dengan rendah hati, Saatirah menerimanya atas dasar pengertian dan keterbukaan. Pengertian berarti memahami maksud terjadinya segala peristiwa yang dialami, sedangkan keterbukaan berarti tidak menutup diri terhadap peristiwa yang dialaminya itu. Sikap nerima yang Saatirah lakukan tetap rasional, sehingga tidak terpuruk dan menentang secara percuma. Sikap inilah yang menurut hemat penulis sebagai esensi perlawanan Saatirah terhadap kenyataan yang menderanya.
Saat suaminya di PHK, ia tetap berusaha menjaga keutuhan rumah tangga dengan cara ia yang sepenuhya mencari nafkah dengan mengajar di beberapa perguruan tinggi. Dari sebagaian honornya serta pinjaman dana dari kakaknya, ia menutupi hutang-hutang suaminya. Reaksi yang dilakukan tokoh utama dalam peristiwa yang demikian adalah reaksi yang saatirah. Ia tidak menyerah begitu saja, melainkan ia mengambil langkah untuk bekerja lebih keras. Caranya dengan mengajar di berbagai perguruan tinggi, menulis buku-buku, bahkan menjadi narasumber dalam beberapa kegiatan.
Pengaruh kuat cerpen Sri Sumarah pada Niknik dapat kita lihat kembali pada perilaku kepatuhan Sri dalam menjalani masa 12 tahun perkawinan dengan Mas Marto. Salah satu yang membuat hubungan perkawinan mereka awet adalah kemampuan Sri memijat. Ini adalah bentuk laku bakti Sri pada suami. Dalam novel Niknik ini, tokoh Saatirah juga memiliki kepandaian memijat dan perilaku yang sama, memijat suaminya menjelang tidur meskipun dalam keadaan tidak akur.
Kesamaan lain, meskipun dalam peristiwa yang berbeda adalah saat tokoh Sri ber-sumarah dalam bentuk kesetiaan yang ditunjukkan Sri saat menolak lamaran Pak Carik. Lamaran ini datang setelah ia ditinggal mati Mas Marto. Janda mana yang akan menolak lamaran seorang carik dengan harta yang berlimpah? Jawabnya adalah Sri Sumarah. Ia menolak karena cinta sejatinya adalah pada Mas Marto. Dalam novel Saatirah, meskipun tokoh protagonis dihianati oleh suaminya dengan perselingkuhan-perselingkuhannya, ia tetap menolak kehadiran Tora. Seorang mahasiswa yang sangat memenuhi seleranya. Saatirah masih setia pada suaminya. Saatirah masih saatirah bahkan ketika orang yang dicintainya telah menghianatinya. Ini pasti menjadi perlawanan yang luar biasa bagi Saatirah.
Peristiwa Saatirah yang timbul-tenggelam tergoda pada Tora, sosok muda, tampan, dan gagah menjadi bumbu cerita yang menarik dalam novel ini. Mungkin pembaca akan mempertanyakan kembali tentang citra Saatirah sebagai seorang istri bahkan dosen? Pada bagian ini, menurut hemat penulis sangat manusiawi, bahkan melalui kesadarannya atas makna kata saatirah, Saatirah tetap menjaga kesetiaannya pada suami. Sosok Tora ini pula yang menyisakan pekerjaan rumah bagi pembaca untuk terus menggulirkan kembaraan nimajinasinya. Di akhir novel ini, Saatirah usai menjenguk Andro yang baru diamputasi kakinya di rumah sakit mendapati puisi Tora di Wiper mobilnya. Isi puisi itu, Tora masih setia menanti cinta Saatirah. Bersatukah mereka? Kemungkinan itu sangat potensial, lantaran Saatirah sudah menjanda, jawabnya tentu terserah Niknik pada novel berikutnya.
Kelebihan novel ini yang sangat menonjol adalah gaya bertutur Niknik yang begitu puitis meskipun dalam keadaan lara yang mengiris hati. Hemat penulis, Niknik melalui novelnya ini, tak urung menjadi penyair, bahkan dalam judul bab pun menggunakan puisi, misal bab 1 “Puisi Itu”, pada bab 2 “Puisi Lara itu”, dan seterusnya. Gaya bertutur Niknik yang indah ini pun penulis pandang sebagai bentuk perlawanan terhadap kegetiran peristiwa yang dialami tokoh protagonis rekaannya.
Penulis adalah
Program Officer Yayasan Cahaya Guru dan dosen UMN