Selasa, 20 Desember 2011

Saatirah di Mata Penulis

“Diciptakan alam pria dan wanita. Dua makhluk dalam asuhan dewata. Ditakdirkan bahwa pria berkuasa. Adapun wanita lemah lembut manja. Wanita dijajah pria sejak dulu. Dijadikan perhiasan sangkar madu. Namun ada kala pria tak berdaya.Tekuk lutut di sudut kerling Saatirah...”

Penggalan tembang “Sabda Alam” karya Ismail Marzuki adalah gambaran novel Saatirah. Budaya masyarakat timur memiliki pandangan normatif bahwa perempuan adalah perhiasan bagi kaum laki-laki. Perempuan dituntut harus indah, cantik, berbudi halus, berperilaku baik, lemah lembut, yang menjadi tanda sifat feminin yang dimilikinya. Sejak awal perkenalan dengan Andro, Saatirah telah dididik untuk menjadi perempuan yang ideal bagi suami. Diberikannya majalah agar Saatirah berwawasan luas. Diajarinya perilaku yang baik agar Saatirah menjadi wanita berbudi pekerti luhur. Diberikannya pendidikan formal hingga program magister agar Saatirah menjadi perempuan terpelajar. Diajarilah norma-norma pergaulan agar Saatirah menjadi wanita terhormat. Didikan ini semakin menyempurnakan pelajaran yang didapat dari Emak turunan menak Sunda tentang ilmu kesempurnaan rumah tangga. Emak selalu mengajarkan agar Saatirah menjadi istri baik sesuai namanya, Saatirah. Saatirah adalah nama yang indah. Nama itu diambil dari bahasa Arab yang berarti perempuan, sabar, soleh dan mulia yang berbakti pada suaminya. Saatirah berarti juga perempuan yang selalu menjaga kehormatan suami dan menutupi aib suaminya.

Keindahan-keindahan sifat dan sikap Saatirah itu mengisi sangkar yang dibangun kaum adam, Andromeda, dalam sebuah institusi yang disebut perkawinan. Saatirah selalu berjuang memberikan hidupnya untuk keluarga. Sebuah pelayanan yang maksimal, bahkan dinilai Emak, sang guru, Saatirah berlebihan dalam menerapkan ilmu kesempurnaan rumah tangga. Saatirah memijat tubuh Andro setiap malam sambil bercerita. Saatirah mengelap jemari Andro setelah makan, Saatirah menggaruk bagian tubuh Andro yang gatal, Saatirah mengolesi lotian anti nyamuk tiap malam, dan Saatirah pun mau melayani hasrat Andro walaupun menyakitkan. Saatirah mengizinkan sang suami berpacaran demi kebahagiaan suami. Walau penderitaan tengah menghampirinya, Saatirah tetap ,menjunjung tinggi harkat dan derajat suaminya di mata anak-anak, sahabatnya, rekan kerja suami, keluarga, bahkan di depan Tuhan Sang Pencipta. Saatirah selalu mendoakan yang terbaik bagi Andro, bagi dirinya, dan bagi keutuhan rumah tangganya.

Betapa beruntungnya para istri yang mendapatkan suami yang bisa memberi rumah tangga semanis madu untuk keluarga. Kebahagiaan menanti mereka. Namun, sayangnya tidak semua perempuan mendapat keuntungan seperti itu. Banyak para istri harus mereguk kegetiran dari waktu ke waktu akibat KDRT atau masalah lain. Begitu pula dengan Saatirah, ia mampu melewati berbagai masalah yangdihadapinya. Ia rela mencintai dan menyayangi suami dengan segala kekurangan yang dimiliki sang suami. Saat suami miliki kekasih, ia rela tetap mengabdikan dirinya untuk suami walau tersakiti. Bahkan ia sanggup menjadi “pelacur” ketika sang suami meminta izin membayangkan kekasihnya saat merengguk kenikmatan dari Saatirah.

Bertahun-tahun para istri bungkam karena berbagai pertimbangan. Malu dan bingung kalau harus menjanda, kasihan anak-anak, dan masih banyak alasan lainnya. Bagi istri hanyalah tersedia alasan sedikit untuk meninggalkan suami. Bahkan secara budaya celah itu sama sekali tak ada. Perempuan berharga karena pengabdiannya, karena kesetiaannya, karena kepasrahannya. Tak heran mereka terus bertahan demi menjaga kehormatan mereka sebagai perempuan setia. Mengajukan cerai pun dianggap tabu dan memalukan. Saatirah hampir meninggalkan Andro, tapi selalu alasan anaknyalah yang bisa membendung dia untuk tetap bertahan mendampingi Andro. Sangat mudah bagi Saatirah untuk meninggalkan Andro dan hidup dengan pria lain yang menantinya. Mudah pula secara ekonomi untuk memilih hidup mandiri tidak bergantung pada suami. Saatirah adalah wanita karier dan tentu berpenghasilan cukup. Namun, Saatirah tidak melakukannya. Saatirah tetap berada di posisi sebagai perempuan setia yang berharga karena pengabdian, kesabaran, kesetian, dan kepasrahannya.

Dengan kesabaran dan ketabahan Saatirah mampu menghadapi permasalahan hidupnya yang berat. Selain menerima KDRT, Saatirah juga harus menjalani miliki suami yang mencintai perempuan lain. Sungguh ironis. Pelayanan dan pengabdian Saatirah pada suaminya yang besar bahkan cenderung berlebihan, tetap saja sang suami tak bisa menahan diri untuk jatuh cinta lagi pada perempuan lain. Saatirah memberontak? Ya. Ya Saatirah dengan tenang menentang nasibnya dengan mengikutinya, sampai di mana kesabarannya akan teruji. Pemberontakan yang ia lakukan adalah sebuah instropeksi diri. Sebuah keputusan yang tentu tidak semua perempuan bisa lakukan. Dia berusaha memperbaiki diri untuk menjadi wanita yang modern, tidak kampungan lagi seperti julukan Andro padanya. Dia berusaha memperbaiki kekurangannya agar lebih dicintai Andro. Dia berusaha lebih memerhatikan Andro diiringi dengan doa yang tulus untuk kebaikan pernikahannya yang hampir karam. Ia selalun berdoa agar sang suami sadar dan kembali ke jalan yang lurus. Berhasilkah Saatirah? Ya, berhasil. Saatirah semakin menjadi perempuan yang mandiri dan berkarier baik. Namun, apakah ia berhasil mempertahankan rumah tangganya? Ternyata tidak... Akhirnya Saatirah menyerah. Perselingkuhan dan KDRT melengkapi derita Saatirah dan ia berani mengambil keputusan memilih hidup sendiri.

Namun, di saat Saatirah sendirian justru Andro yang akhirnya menikahi kekasihnya semakin merasakan bahwa Saatirahlah perempuan yang terbaik. Saatirahlah perempuan yang ia butuhkan. Saatirah dan anak-anaklah yang bisa membuat Andro semangat menghadapi hidup. Pada akhirnya, Andro bertekuk lutut di kerling Saatirah.