Penerapan Materi Kuliah Hari Kedua: Multiintelegensi Gardner
Dosen: Dr. Robinson Situmorang, M.Pd. pada makalah:
Fotografi sebagai Alternatif Bahan dan Media Ajar
Berbasis
Multiintelegensi di Kelas BIPA Mahir
Sekolah
Kampung Bahasa “Bloom Bank” :
Sebuah
Kajian Teori Intelegensi Gardner
Niknik M. Kuntarto
Universitas Negeri
Jakarta
Abstrak:
Akhir-akhir
ini sedang marak fotografi sebagai kegiatan yang menyenangkan bagi sebagian
banyak orang. Sekolah Kampung Bahasa “Bloom Bank” menangkap kesempatan tersebut
dan memasukkan fotografi ke dalam salah satu materi dan media ajar dalam
pembelajaran BIPA kelas Mahir. Selain dapat mengembangkan kecerdasan linguistik
yang berhubungan dengan kosakata dunia fotografi, peserta BIPA juga dapat menyalurkan
kecerdasan lain seperti kecerdasan visual-spasial, kecerdasan kinestetik,
kecerdasan matematika, kecerdasan musik, kecerdasan intrapersonal, dan
kecerdasan naturalistik. Pembelajaran
BIPA melalui kegiatan fotografi ini ternyata dapat menggugah dan menggairahkan
peserta BIPA untuk lebih aktif dan atraktif belajar bahasa Indonesia. Seperti
apakah pembelajaran BIPA yang menggugah dan menggairahkan melalui fotografi
dilakukan di Kampung Bahasa “Bloom Bank”? Itulah yang akan dibahas dalam
makalah ini.
Kata kunci: pembelajaran, multiintelegensi, fotografi,
menggugah, dan menggairahkan
A.
Pendahuluan
Pemilihan
materi dan media ajar belajar bahasa Indonesia bagi penutur asing atau BIPA
selalu menarik perhatian, dinamis, dan menantang para pengajar. Seorang
pengajar BIPA selalu harus tampil di hadapan peserta BIPA dengan persiapan yang
maksimal. Jika tidak dilakukan, pengajar BIPA akan berhadapan dengan berbagai
masalah. Pertama, materi tidak dapat tersampaikan dengan baik kepada peserta
BIPA karena materi kurang sesuai. Kedua, peserta BIPA kecewa dan frustasi
karena sulit memahami bahasa Indonesia karena materi terlalu sulit. Ketiga,
bisa saja, peserta asing tidak semangat belajar bahasa Indonesia karena media
ajar kurang menarik. Keempat, tidak menutup kemungkinan, pengajar memasuki
kelas dan ternyata semua peserta meninggalkan kelas karena kurang tergugah dan
tergairahkan. Semua terjadi karena pengajar BIPA akan berhadapan dengan
berbagai peserta yang berasal dari berbagai Negara dengan warna-warni budaya,
dengan latar belakang sosial beragam, dan dengan kecerdasan yang jamak.
Pengalaman
tersebut, sering kali dirasakan tidak
hanya oleh pengelola BIPA yang baru memulai kegiatan dalam pengajaran BIPA, tetapi
juga pengelola BIPA yang telah
berpengalaman selama puluhan tahun dalam menyelenggarakan program BIPA. Inilah
yang menyebabkan selalu ramainya forum pertemuan dihadiri oleh para pegiat
BIPA. Mereka butuh berdiskusi, saling tukar pikiran, dan berbagi pengalaman di
antara pengajar, pegiat, dan pengelola BIPA. Akhirnya, kebutuhan tersebut
menjadi tuntutan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Pengajar BIPA harus
terampil mempersiapkan materi dan media
ajar BIPA yang menarik, menggugah, dan
menggairahkan.
Pengajar
BIPA yang biasa-biasa saja adalah mereka yang selalu memberikan pengetahuan. Pengajar
BIPA yang baik adalah mereka yang selalu menjelaskan apa yang seharusnya
diajarkan. Pengajar BIPA yang sangat baik adalah mereka yang selalu
mendemonstrasikan dan memberi contoh apa yang diajarkan. Pengajar BIPA yang
istimewa adalah mereka yang sanggup menggugah dan menggairahkan mahasiswa untuk
belajar dan menemukan nilai-nilai pengetahuan dan moral (Ginanto, 2011;
Ekoyatmi, 2010). Berdasarkan kategori tersebut,
tentu tipe pengajar BIPA yang terakhir yang dibutuhkan oleh peserta
BIPA. Namun, permasalahannya adalah apa yang harus dilakukan atau disiapkan
oleh pengajar BIPA agar menjadi pengajar yang istimewa yang sanggup menggugah
dan menggairahkan peserta BIPA. Kegiatan fotografi adalah salah satu materi
ajar yang diusulkan pada makalah ini sebagai kegiatan belajar bahasa Indonesia
yang menyenangkan, menggugah, dan menggairahkan peserta BIPA yang berbasis
multiintelegensi.
B. Pembahasan
1. Fotografi sebagai Materi dan
Media Ajar
Fotografi
adalah seni untuk membuat cerita tentang
dunia dari sudut pandang kita sendiri. Fotografi juga memberi kesempatan kepada
kita untuk melihat dunia dengan cara yang berbeda-beda. (Wahyu Darsito &
Mario Wibowo, 2014). Dalam dunia pendidikan, fotografi dapat dimanfaatkan
sebagai materi ajar juga media ajar yang menarik dan efektif. Apalagi saat ini
kecenderungan sebagian besar orang menyukai kegiatan fotografi pascatumbuh
kembangnya komunikasi di jejaring sosial seperti Facebook, Path, Instagram.
Fotografi menjadi gaya hidup hampir setiap orang. Fotografi menjadi kebutuhan
hidup. Fotografi menjadi ajang eksistansi diri. Berdasarkan gambaran tersebut,
penulis ingin memanfaat situasi ini menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi
pembelajaran, terutama dalam belajar bahasa Indonesia bagi penutur asing yang
menggugah dan menggairahkan berbasis multiintelegensi.
Berdasarkan
standar pemetaan kompetensi dasar bahasa Indonesia untuk penutur asing The Common European Framework of Reference
for Language (CEFR), pada C1.3
dijelaskan bahwa peserta BIPA level mahir
mampu menggunakan bahasa secara efektif sesuai situasi tutur untuk
keperluan sosial, akademis, dan profesional.
Kemudian, pada C1.4 dijelaskan bahwa peserta BIPA level mahir mampu
menghasilkan teks tentang topik sosial,
akademis, dan/atau profesional dengan
bahasa yang jelas, terstruktur, alurnya sistematis, terperinci, dan
memperlihatkan pola organisasi teks yang
sistematis. Berdasarkan kedua kompentensi tersebut, dapat disimpulkan bahwa
pada level mahir, peserta BIPA harus mampu memahami dan menggunakan bahasa yang
berhubungan dengan profesi tertentu. Fotografer adalah salah satu profesi yang
ada pada masyarakat yang mulai banyak digemari. Oleh karena itu, tidak salah
bila fotografi dipilih sebagai materi ajar dan juga sekaligus media ajar
belajar bahasa Indonesia untuk penutur asing.
Berdasarkan
Garis-Garis Besar Program Pengajaran di BIPA Sekolah Kampung Bahasa “Bloom Bank”yang mengacu pada
standar kompetensi CEFR, pada level mahir, peserta BIPA dibekali pengetahuan
dan kemampuan untuk mengembangkan diri menjadi ekspatriat yang memiliki
pengetahuan dan sikap positif terhadap bahasa Indonesia sebagai bahasa asing
dan mampu menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari secara baik dan benar,
baik secara lisan maupun tulis, untuk
mengungkapkan pemahaman, perasaan, dan untuk berbagai keperluan dalam bidang
ilmu, teknologi, dan seni serta profesinya masing-masing. Keterampilan yang
akan dikuasai dalam BIPA Mahir lebih bervariasi seperti mendongeng, berpidato,
berdiskusi, menjadi pembawa acara/ MC, menjadi penyiar, menjadi pembaca berita,
dan presenter dengan tema-tema yang lebih menarik seperti videografi,
fotografi, budaya, film, komik, dan sosial politik Semua materi diraih oleh mahasiswa melalui
metode pembelajaran yang menarik dan atraktif (entertaining method) dan jenis evaluasi yang menantang dan
menggugah mahasiswa untuk bersemangat belajar bahasa Indonesia. Sementara itu,
capaian pembelajaran pada level mahir adalah peserta BIPA dapat mempraktikkan
keterampilan berbicara saat menyanyi, mendongeng, berpidato, berdiskusi,
menjadi pembawa acara/ MC, menjadi penyiar, menjadi pembaca berita, dan
presenter dengan tema-tema yang menarik seperti videografi, fotografi, budaya,
film, komik, dan sosial politik sebagai alat komunikasi dengan cara menerapkan
kesantunan bahasa yang baik dan benar secara
lisan dibuktikan dengan rekaman.
Menurut
Parke (1966), terdapat empat komponen bahasa, yakni fonologi, semantik, tata
bahasa, dan pragmatik. Fonologi telah melahirkan keterampilan mendengarkan atau
menyimak. Semantik melahirkan keterampilan membaca, sedangkan tata bahasa
melahirkan morfologi dan sintaksis. Tata bahasa akan menggambarkan
pengombinasian kata-kata menjadi frasa, klausa, dan kalimat. Pragmatik
melahirkan keterampilan bahasa dalam konteks sosial, yakni menulis dan
berbicara. Fotografi dipilih menjadi
materi ajar yang menarik dengan pendistribusian ke berbagai keterampilan, baik menyimak, membaca, berbicara, menulis, maupun
tata bahasa.
Berdasarkan pada GBPP BIPA Sekolah Kampung
Bahasa “Bloom Bank”, khusus pada pokok bahasan dengan tema fotografi, pada
keterampilan menyimak, peserta diminta untuk menemukan informasi penting
tentang kegemaran memotret hewan, bunga,
alam, manusia, gedung, dan lain-lain. Pada sesi ini, peserta diperkenalkan
kosakata yang berhubungan dengan fotografi seperti diafragma, pajanan, rana, cahaya, fokus, pemindai, autofokus, blur,
buram, bidik, komposisi, adegan, lensa, cermin, sensor, manual, otomatis,
digital, lampu kilat, objek, kamera,sudut gambar, sudut pandang, bingkai,
dokumentasi, cekung, dan cembung.
Pada
keterampilan membaca, peserta BIPA belajar memahami kalimat-kalimat instruksi
tentang langkah-langkah dalam kegiatan fotografi dalam buku manual.Peserta juga
dibekali pengetahun kebahasaan berupa konjungsi intrakalimat dan antarkalimat sebagai penanda
rangkaian kegiatan fotografi. Mereka harus paham perbedaan tetapi dan namun, sedangkan dan sementara itu, juga antara sehingga
dan oleh karena itu.Selain itu, pada
level mahir, perlu diberikan standar kecepatan membaca dengan ukuran kata per
menit (kpm).
Pada
keterampilan berbicara, peserta BIPA diminta untuk mempresentasikan pengalaman
belajar fotografi sambil menunjukkan hasil karyanya disertai penjelasan
teknik-teknik fotografi yang sudah dipelajari dan dipraktikkannya atau peserta
juga bisa mempresentasikan tips memotret yang baik.
Pada
keterampilan tata bahasa, peserta BIPA belajar membuat kalimat-kalimat instuksi
seperti langkah-langkah memotret: buka
penutup kamera, tekan tombol on off kamera, atur pencahayaan dengan baik, bidik gambardengan tepat, dan
sebagainya. Pada tata bahasa peserta BIPA juga belajar kelompok nomina dengan
konfiks peng-an seperti pengaturan gambar, pemotretan, pengambilan
gambar, pencahayaan, pembingkaian gambar, pemantulan, perencanaan matang, danpemandangan. Selain itu, mereka juga
belajar nomina konfiks ke-an seperti kecepatan cahaya, kedalaman, ketajaman, ,dan konjungsi korelatif seperti semakin ..., semakin....
Pada
keterampilan menulis, peserta BIPA berlatih menulis eksposisi dengan jenis tips
atau kiat memotret dengan mudah. Pada sesi ini, peserta BIPA diminta menerapkan
pengetahuan tata bahasa yang berhubungan dengan kalimat instruksi, nomina konfiks peng-an, dan konjungsi baik intrakalimat, antarkalimat, maupun
korelatif seperti pada kalimat Semakin
lama rana membuka lebih banyak cahaya, semakin banyak sensor menangkap cahaya.Semakin rendah ASA, semakin gelap foto yang
dihasilkan.Semakin tinggi ASA, semakin terang foto yang dihasilkan.Semakin
tinggi ASA, semakin sensitif sensor kamera terhadap cahaya.
2. Fotografi sebagai Bahan Ajar
Berbasis Multiintelegensi
Berdasarkan
teori intelegensi yang dikembangkan oleh Gardner (dalam Jamaris, 2012:99-101),
intelegensi tidak hanya ditentukan oleh satu faktor yang dikenal dengan general intelligence, tetapi ditentukan
oleh sejumlah faktor yang digolongkan ke dalam delapan kecerdasan, yakni
visual- spasial, linguistik, kinestetik, matematik, musik, interpersonal,
intrapersonal, dan naturalistik. Selanjutnya, dijelaskan juga bahwa kemampuan
multiintelegensi setiap individu berbeda. Seorang individu dapat memiliki
kemampuan yang tinggi pada sebagian dari multiintegensi ini, tetapi dapat juga
tidak tinggi pada multiintelegensi lainnya.
Pandangan
Gardner ini sangat mendukung terwujudnya tipe pengajar BIPA yang keempat, yang
istimewa, yang sanggup menggugah dan menggairahkan siswanya dalam belajar
bahasa Indonesia sesuai kemampuan intelegensi. Pandangan Gardner ini dapat
menjadi inspirasi para pengajar untuk membelajarkan
siswa berdasarkan delapan intelegensi tersebut. Melalui pembelajaran
multiintelegensi, siswa dapat belajar sesuai dengan bakat dan minat yang siswa
miliki sehingga termotivasi, tergugah,
dan tergairahkan untuk belajar. Pembelajaran ini tentu akan menjadi sesuatu
yang bermakna bagi diri siswa. Dengan bersandar pada teori Gardner, multiintelegensi akan untuk menolong siswa menyadari potensi terpendam
mereka.
Terkait
dengan penerapan teori multiintelegensi dalam proses pembelajaran, selain merupakan
motivasi dasar untuk membantu untuk semua siswa belajar, juga telah
menggerakkan para pengajar dalam menggali teori multiintelegensi sebagai alat yang
memungkinkan keberhasilan lebih banyak lagi diraih oleh para siswa. Tampak
bahwa teori multiintelegensi mengajarkan bahwa semua anak cerdas, tetapi mereka
cerdas dalam cara yang berbeda.(Semiawan, 2009: 78-81)
Untuk
mewujudkan teori Gardner tersebut, penataan kelas tentu tidak sama dengan kelas
konvensional. Dibutuhkan suatu keberanian bagi seorang pengajar untuk mengajar
siswa belajar di alam terbuka. Melalui alam terbuka pengajar memiliki
keleluasaan dalam mengembangkan metode ajar. Menurut Robinson Situmorang (2004:
6 dan 28), metode yang tepat dalam melibatkan psikomotorik dan afektif adalah demonstrasi, simulasi, peragaan, kerja praktik
dan sejenisnya. Fotografi memerlukan peragaan, memerlukan kerja praktik. Oleh
karena itu, pembelajaran fotografi leih tepat dilakukan di luar kelas agar
tujuan tercapai dan siswa merasakan sesuatu yang lebih bermakna. Di sinilah,
menurut Robinson Situmorang, simpul-simpul kenangan akan terikat di memori
siswa.
Berikut adalah contoh-contoh kemampuan
individu yang relevan dengan multiintelegensi (dalam Jamaris, 2012: 100)
melalui bahan dan media ajar fotografi.
Intelegensi
|
Contoh
Individu
|
Penjelasan
|
Penerapan
dalam Pembelajaran Fotografi
|
Kinestetik
|
Penari, atlet, ahli bedah, pemahat,
dll.
|
Kemampuan dalam mengoordinasikan
gerakan fisik dengan baik.
|
Seorang fotografer harus memiliki kemampuan
dalam mengoordinasikan gerakan tangan, mata, posisi tubuh saat mengambil
gambar atau sudut pandang (angle of
view) yang terbaik.
|
Interpersonal
|
Guru, konsultan, politis, pemuka
agama, dll.
|
Kemampuan dalam menyentuh perasaan
seseorang untuk menerima saran dan anjuran.
|
Foto adalah pesan dalam gambar. Foto
dapat menjadi alat penyampai pesan kepada masyarakat. Melalui foto
kemanusian, masyarakat dapat tergugah untuk melakukan sesuatu demi
kemanusiaan.
|
Intrapersonal
|
Individu yang memiliki pemahaman baik
tentang dirinya: seniman
|
Kemampuan untuk mengenal kekuatan dan
kelemahan diri sendiri.
|
Seorang fotografer harus memiliki kekuatan
dalam mengenal kelebihan dan kelemahan dirinya. Ada banyak teknik pemotretan
dan fotografer yang handal tahu di teknik mana ia dapat menghasilkan foto
yang bagus.
|
Linguistik
|
Sastrawan, penulis, orator, ahli komunikasi,
dll.
|
Kemampuan untuk berkomunikasi secara
lisan dan tulis dengan baik, serta kemampuan menguasai beberapa bahasa dengan
baik.
|
Foto adalah cerita bergambar. Melalui
foto saja seseorang bisa menceritakan kejadian di mana pun. Foto yang baik
adalah foto yang bisa bercerita tanpa kata-kata. Seorang fotografer yang
handal harus dapat mengomunikasikan cerita yang akan ia angkat ke melalui
foto.
|
Matematik - Logis
|
Ahli matematika, ahli berpikir, dll.
|
Kemampuan untuk mempelajari sesuatu
yang membutuhkan daya abstraksi yang tinggi dan kemampuan dalam memecahkan
masalah yang rumit disertai dengan argumentasi yang logis.
|
Foto yang baik dihasilkan oleh
komposisi yang berimbang antara ISO, aperture, dan speed. Seorang fotografer
harus dapat menghitung sensitivitas
sensor terhadap cahaya agar gambar yang dihasilkan terang. Seorang fotografer
harus menghitung lebar bukaan lensa agar kedalaman fokus gambar dapat diatur.
Seorang fotografer juga harus bisa menghitung kecepatan kamera dalam
mengambil gambar agar tepat sasaran.
|
Musik
|
Musisi, komposer musik, dan penari
|
Kemampuan dalam mempelajari,
menciptakan, dan melakukan pagelaran seni musik dan tari,
|
Kumpulan foto-foto kegiatan akan lebih
indah dan bermakna bila dijadikan album foto yang dibuat secara digital dengan
iringan musik yang disesuaikan dengan tema album foto. Ketepatan pemilihan
musik yang akan menjadi latar belakang tampilan album foto memerlukan
kecerdasan ini.
|
Naturalistik
|
Biologis dan pencipta pelestarian alam
|
Kemampuan untuk memahami berbagai species
yang berbeda-beda, memahami pola kehidupannya, mengklasifikasikan, dan
melestarikannya.
|
Ada banyak tipe fotografer berdasarkan
objek gambar. Ada fotografer yang suka memotret bunga-bungaan, binatang, alam,
pemandangan. Fotograf dapat menjadi pengembangan kecerdasan naturalistik.
Melalui fotografi, seseorang dapat mengabadikan dan melestarikan alam beserta
keindahan isinya.
|
Visual-Spasial
|
Pelaut, ahli bedah, pemahat, pelukis,
dll.
|
Kemampuan untuk mengetahui lokasi atau
tempat secara tepat, kemampuan untuk menyelesaikan pekerjaan yang membutuhkan
visualisasi tiga dimensi.
|
Fotografer adalah profesi yang dapat
disamakan dengan pelukis dan pemahat. Perbedaannya terletak pada alat.
Pelukis menggunakan kuas, pemahat menggunakan pahat, dan fotografer menggunakan
kamera sebagai alat untuk mengabadikan peristiwa melalui foto. Kemampuan
kecerdasan visual-spasial juga dibutuhkan oleh seorang fotografer dalam memvisualisasikan setiap
gambar apa pun baik dua dimensi maupun tiga dimensi.
|
3. Belajar Bahasa Indonesia melalui
Kegiatan Fotografi sebagai Proses Pembelajaran yang Menggugah dan Menggairahkan
Benjamin
S. Bloom memformulasikan klasifikasi tujuan pendidikan ke dalam tiga aspek,
yaitu aspek kognitif, aspek afektif, dan aspek psikomotor (Bloom, 1956).Aspek
kognitif berorientasi pada kemampuan berpikir secara intelektual, mulai
sederhana hingga kompleks.Aspek afektif berorientasi pada perasaan, emosi,
sistem, nilai, dan sikap. Sementara itu, aspek psikomotor berhubungan dengan
kegiatan yang dilakukan secara fisik dan
bersinggungan dengan penggunaan anggota tubuh.
Dengan
mendasar pada aspek kognitif, peserta BIPA dapat mendapatkan pengetahuan yang
berhubungan dengan kegiatan fotografi. Apalagi, kini fotografi menjadi bagian
penting jurnalistik yang kini sudah menjadi interdisiplin ilmu, layaknya ilmu
videografi, seni rupa, komunikasi, psikokogi, dan sosiologi (Kiger, 1972).Perkembangan
kegiatan fotografi saat ini sangat pesat terlebih setelah berkembangnya
kemajuan teknologi, dimulai dengan penemuan kamera obscura hingga penemuan
digital fotografi. Tuntutan zaman yang serba instan, praktis dan ekonomis
membuat fotografi pada akhirnya semakin luas peranannya di semua disiplin ilmu
pengetahuan. Fotografi tidak hanya digunakan hanya untuk sarana dokumentasi semata,
tetapi sudah menginjak dunia industri baik komersial maupun nonkomersial.
Melalui fotografi, peserta BIPA memperoleh pengetahuan ilmu memotret, ilmu
menggambar melalui cahaya, dan ilmu menghitung kecepatan, ketajaman, dan
ketepatan cahaya. Melalui fotografi, peserta BIPA memperoleh pengetahuan
kebahasaan seperti kosakata baru bidang fotografi, kalimat-kalimat instruksi,
konjungsi antarkalimat dan intrakalimat, juga pengetahuan ketatabahasaan
seperti penggunaan nomina konfiks ke-an
dan pe-an.Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa melalui fotografi,
peserta BIPA dapat mengembangkan kecerdasan
linguistik, matematik, naturalistik, dan visual spasial.
Dengan
mendasar pada aspek afektif, peserta BIPA dapat mengepresikan perasaan melalui
kegiatan fotografi. Kepekaan pada keindahan akan lebih terlatih. Kepekaan
terhadap kepedulian pada lingkungan juga akan teruji. Selain itu, melalui
kegiatan fotografi, peserta BIPA lebih mengenal permasalahan sosial dan budaya
yang ada pada masyarakat Indonesia. Belajar bahasa juga belajar budaya. Semua
tercapai melalui pembelajaran bahasa Indonesia dengan media fotografi.
Setelah mereka terampil memotret, mereka
dapat berkisah dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Mereka bisa
menghasilkan teks berbahasa Indonesia yang mengandung unsur kebenaran,
keindahan, dan keharuan tentang apa pun melalui foto-foto yang dihasilkan.
Dapat disimpulkan bahwa, melalui fotografi, peserta BIPA dapat mengembangkan kecerdasan interpersonal, intrapersonal,
musik, dan naturalistik.
Dengan
mendasar pada aspek psikomotor, peserta BIPA dapat terampil memegang kamera
dengan baik dan benar. Peserta BIPA dapat lebih lincah bergerak mengekpresikan
diri melalui kegiatan fotografi. Mereka belajar tidak hanya di dalam kelas,
tetapi belajar di luar kelas seperti di taman kampus, di lingkungan masyarakat
sekitar kampus, dan di lingkungan tempat mereka tinggal atau bekerja. Mereka
diberi kebebasan bergerak belajar bahasa Indonesia di laboratorium
sesungguhnya, masyarakat.Melalui aspek psikomotor, peserta BIPA terampil
menghasilkan karya fotografi yang baik. Dengan demikian, dapat disimpulkan
bahwa melalui fotografi, peserta BIPA dapat mengembangkan kecerdasan kinestetik dan visual spasial.
Kesemuanya
itu tanpa terasa bahwa pembelajaran bahasa Indonesia melalui kegiatan fotografi
telah dilakukan dengan pendekatan empirisme, yakni pendekatan pembelajaran yang
mendasarkan pada bahwa cara memperoleh pengetahuan dapat dilakukan melalui
pengalaman. Pengalaman adalah sumber pengetahuan. Ya, para peserta BIPA
sungguh-sungguh belajar bahasa Indonesia dengan cara langsung terlibat.
Mengalami sendiri secara faktual.Mereka secara langsung mendapatkan pengetahuan
berdasarkan tangkapan pancaindera yang terakumulasi menjadi kumpulan
fakta-fakta.Mereka melakukan learning by
doing.Sungguh pembelajaran yang menarik, menggugah, dan menggairahkan
peserta BIPA.
C.
Simpulan
Berdasarkan
pengalaman yang telah dilakukan oleh penulis, pembelajaran bahasa Indonesia
dengan menggunakan materi dan media ajar fotografi sebagai pembelajaran
berbasis multiintelegensi telah membuat peserta BIPA tergugah dan tergairahkan.
Peserta BIPA dapat mengembangkan bakat dan minat terhadap
fotografi yang disesuaikan dengan latar belakang kecerdasannya yang majemuk sehingga
tanpa sadar keterampilan berbahasa
mereka meningkat. Di setiap akhir pertemuan mingguan, biasanya mereka diminta
untuk menjalani tes kosakata yang dikuasai setelah belajar bahasa Indonesia
selama 15 jam. Pada kelas Mahir,
rata-rata peserta BIPA dapat menghafalkan 50 kosakata kosakata per menit.
Namun, khusus pada pokok bahasan bahasa Indonesia melalui fotografi, selama
satu minggu atau 15 jam, penguasaan bahasa mereka menjadi 80 kosakata baru per
menit atau meningkat sebanyak 40%.Ini menunjukkan bahwa khusus pada pokok
bahasan fotografi, penguasaan kosakata meningkat dan menjadi petanda yang baik.
Mereka tertarik, tergugah, dan tergairahkan dengan adanya kegiatan belajar
bahasa Indonesia melalui fotografi. Kenyataan positif ini didukung pula dengan
testimoni para peserta yang menuliskan
kesan dan pesan dalam bentuk kartun menarik karya mereka juga.
Pemilihan materi dan
media ajar berupa kegiatan fotografi, selain
bergairah mengikut pembelajaran bahasa Indonesia, mereka juga merasa
tertantang dengan evaluasi yang dilakukan. Setelah memperoleh pengetahuan
tentang fotografi, memperoleh keterampilan memotret, dan memperoleh pengalaman
secara langsung tentang keindahan dan kehidupan, mereka juga memperoleh umpan
balik dengan menerima penilaian dari narasumber.Ya, penulis sengaja
mendatangkan juri yang berkemampuan di bidangnya untuk menilai karya foto
mereka.Suatu kebanggaan bagi peserta BIPA, ketika hasil karyanya terpajang di
dinding kelas atau ruang guru. Itulah pembelajaran bahasa Indonesia bagi
penutur asing melalui kegiatan fotografi.
Daftar Pustaka
Aurum, Jerry.
2013. Hampir Fotografi. Jakarta:
Citra Wira Kreasi.
Alwi, Hasan.
2011. Bahasa Indonesia: Pemakai dan
Pemakaiannya. Jakarta:
Badan
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Barr, R. B.,
& Tagg, J. 1995. “From Teaching to Learning -- A New Paradigm
for
Undergraduate Education.” Change, 27 (6), 12 – 25. Versi elektronik dari
artikel ini bisa diakses http://www.ius.edu/ilte/pdf/BarrTagg.pdf
Bloom, B.S.
1956.Taxonomy of Educational Objectives: The Classification of
Educational
Goals.
New York: Longman Publishers.
Darsito, Wahyu
& Mario Wibowo. 2014. Travel
Photography. Jakarta: Kompas
Gramedia.
Ekoyatmi, Lucia.
2010. “Pengaruh Strategi Pembelajaran dan Motivasi Belajar
terhadap Hasil
Belajar Bahasa Jepang: Suatu Eksperimen di Aksekma Don Bosco Jakarta,” Sinopsis
Disertasi Program Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta.
Froyd, Jeffrey
dan Simpson, Nancy. 2010. “Student-Centered Learning
Addressing Faculty
Questions about Student-centered Learning”. Versi elektronik dari artikel ini
bisa diakses di http://ccliconference.org/files/2010/03/Froyd_Stu-CenteredLearning.pdf
Gadamer,
Hans-Georg.[1975] 1989.Truth and Method,
Second, Revised
Edition.Diterjemahkan
oleh Joel Weinsheimer dan Donald G. Marshall. London dan New York: Continuum.
Ginanto, Dion
Eprijum. 2011. Jadi Pendidik Kreatif dan
Inspiratif. Yogyakarta:
Jogja
Bangkit Publisher.
Hastuti, Sri.
1992. Konsep-konsep Dasar Pengajaran
Bahasa Indonesia.
Yogyakarta:
PT Mitra Gama Widya.
Komalasari,
Elis. 2013. “Pemikiran Ki Hajar Dewantara tentang Pendidikan
Anak Usia Dini”.
Versi elektronik dari artikel ini bisa diakses di http://elicious-edu.blogspot.com/2013/02/pemikiran-ki-hajar-dewantara-tentang.html
Jamaris,
Martini. 2012. Orientasi Baru dalam
Psikologi Pendidikan. Jakarta: Ghalia
Indonesia.
Jayanagara,
Oscar. 2013. “Videografi sebagai Sarana Pembelajaran”. Dalam Jurnal
Ultima Humaniora, September
2013, hlm 83-102. Vol.I, No.2. Universitas
Multimedia
Nusantara.
Kiger, B. 1972. “Videography, What Does
It All Mean?” Dalam American
Cinematography,10.
Mustansyir,
Rizal & Misnal Munir. 2004. Filsafat
Ilmu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Semiawan, Conny R. 2009. Kreativitas Keberbakatan: Mengapa, Apa, dan
Bagaimana. Jakarta: PT
Indeks
Robinson
Situmorang, Atwi Suparman, dan Rudi Susilana. 2004. Desain
Pembelajaran. Jakarta :
Universitas Terbuka.
0 komentar:
Posting Komentar